Ada Adat Suku Dayak dalam Mengusahakan Perdamaian: Adat Pamabakng.
Perangkat dan prosesi Adat Pamabakng (Sumber: https://landaknews.com/) |
Mungkin ada banyak persepsi mengenai kisah heroik Suku Dayak pada masa lampau hingga masa kini baik yang membuat rasa kagum, takut atau bahkan kaget. Terlepas dari semuanya itu Suku Dayak sangat cinta damai bahkan mempunyai Adat dalam mengusahakan perdamaian. Salah satunya adat pada suku Dayak Kanayatn yaitu Adat pamabakng.
Adat Pamabakng dihadirkan atas inisiatif tanpa dituntut dan merupakan pengakuan pelaku bahwa menyesali tindakannya dan akan menyerahkan sepenuhnya penyelesaian masalah pada Pengurus Adat dengan membuat acara Adat Pamabakng. Adat Pamabakng ini sebagai simbol penyerahan diri dan siap menerima konsekuensi hukum adat dari pihak korban dan ahli warisnya.
Adat Pamabakng dibagi menjadi 2, yaitu Adat Pamabakng Mati dan Adat Pamabakng Idup. Bila terjadi perselisihan atau perkelahian yang menimbulkan luka parah atau cedera berat namun korban tidak sampai meninggal dunia, kepada pihak pelaku yang mengakui kesalahannya tersebut segera berinisiatif untuk membuat Adat Pamabakng Idup (hidup) dan harus diikuti dengan Adat Balah Nyawa (sanksi adat karena ada pertumpahan darah meski tidak sampai meninggal dunia). Kemudian, bila perselisihan yang terjadi menyebabkan kematian maka dilakukan Adat Pamabakng Mati diikuti dengan Adat Pati Nyawa atau Raga Nyawa (sanksi adat akibat pembunuhan).
Biasanya saat terjadi perselisihan dan perkelahian, pelaku atau ahli waris atau masyarakat yang terlibat dan menyaksikan itu segera melapor ke Pengurus Adat. Atas persetujuan pelaku dan ahli warisnya, dilakukan pemasangan Pamabakng oleh Pengurus Adat. Adat Pamabakng Mati untuk korban yang meninggal dunia ditangani langsung oleh Timanggong (Temenggung), tidak cukup ditangani oleh pasirah atau pangaraga, karena kematian korban mengakibatkan masalah yang kompleks, rawan, dan sewaktu-waktu dapat terjadi pembalasan dari pihak korban dan ahli warisnya.
Kelengkapan Adat Pamabakng
1. satu tempayan jampa diletakan di atas jarungkakng (kayu yang dibuat berdiri menyilang) sebagai tempat meletakan tempayan dan ditutup pahar (bentuk nampan logam satu tumpuan di tengah belakangnya berbentuk lingkaran) dipasang posisi terbalik.
2. Palantar (sesaji) terdiri dari baras banyu (beras putih yang dicampur dengan minyak biasanya minyak buah tengkawang), beras biasa, beras pulut (sticky rice), buah tengkawang, telur. Baras banyu melambangkan menenangkan hati yang panas akibat emosi. Topokng (tempat sirih) di dalamnya disediakan sirih, pinang, kapur dan rokok. Juga dilengkapi dengan ayam sedapatnya warna putih melambangkan perdamaian.
3. kemudian di dekat tempayan tersebut dibuat papangokng (panggung kecil kayu) untuk meletakan palantar.
4. Tikar atau bide (anyaman tikar dari rotan dan sejenis kulit kayu kepuak) berukuran besar diletakan di sekitar pamabakng tempat para bala bermusyawarah.
Penerapan Adat Pamabakng
Pamabakng dipasang di dua tempat, pertama di depan halaman rumah pelaku dan kedua di jalan menuju rumah pelaku. Diawali dengan pemotongan ayam (ayam jantan) dan di ambil darahnya untuk upacara nyangahatn (pembacaan doa) oleh imam (panyangah). Upacara pemasangan ini diakhiri dengan dipercikannya darah ayam pada sekitar tempat dipasangnya pamabakng. Simbol Pamabakng mengurungkan niat pihak ahli waris korban dalam melakukan pembalasan. Kemarahan ditahan sehingga hanya itikad perdamaian saja yang terjadi dalam menyelesaikan adat tersebut.
Selanjutnya diadakan pertemuan prosesi adat (munuh adat) antara pelaku, ahli waris pelaku dan korban atau ahli warisnya. Dalam pertemuan ini, pengurus adat menjelaskan maksud diadakannya Adat Pamabakng ini. Selama pertemuan ini kedua pihak sangat akrab saling bersalaman, berpelukan, bahkan sampai menangis. Dalam kesempatan itu pula pelaku dan ahli warisnya menyatakan maaf dan ampun yang sedalam-dalamnya (istilah adatnya: nyorok man dada man balikakng) dan siap sedia membayar ganti rugi adat pati nyawa yang dijatuhkan berdasarkan penghitungan adat.
Pamabakng tetap terpasang selama adat belum diselesaikan dan paling lama 3 hari. Bila pihak pelaku dan ahli warisnya tidak mengindahkan hukum adat pati nyawa yang dituntutkan kepada mereka, maka mereka digolongkan orang yang tidak beradat. Letak intinya adalah pada pemenuhan tuntutan hukum adat pati nyawa-nya. Bila dipenuhi maka tidak ada terjadi pembalasan, bila tidak terpenuhi akan ada kemungkinan terjadi pembalasan dikemudian hari. Maka sebisanya pelaku dan ahli waris harus benar-benar dengan itikad baik harus memenuhi tuntutan hukum adat pati nyawa. Istilah adatnya: "semiskin-miskinnya pelaku dia masih memiliki ahli waris". Biasanya semua ahli waris membantu pelaku dalam menyelesaikan hukum adat tersebut. Bila ada ahli waris yang tidak membantu maka biasa disebut ahli waris yang tidak punya malu.
Pelanggaran terhadap sanksi adat sangat tragis. Apabila adat pamabakng sudah dipenuhi namun masih ada pembalasan dari pihak ahli waris korban maka akan dikenakan adat ririkng (hukum adat yang ditanggung pelaku batal). Hukuman adat yang semestinya ditanggungkan kepada pelaku menjadi ditanggungkan kepada ahli waris korban yang melakukan penyerangan atau pembalasan. Dan bila terjadi kematian dari pihak korban maka korban tidak ada harganya dan dianggap mati seperti binatang.
Oleh sebab itu perlu sosialisasi dan komitmen kepada generasi penerus akan pentingnya Adat Pamabakng ini, dipahami dan dipatuhi pada akhirnya perselisihan yang terjadi tidak berkepanjangan dan cepat diselesaikan sehingga tercipta perdamaian penuh sesama suku Dayak maupun dengan suku lainnya.
Referensi:
http://www.kompasiana.com/loyok/makana-pamabakng-dalam-masyarakat-dayak-kanayatn_550e75b5813311852cbc650d
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=141803&val=2342&title=PENERAPAN HUKUM ADAT DAYA' KANAYATN DALAM PENYELESAIAN KASUS HUKUM PIDANA DI KABUPATEN LANDAK DAN DASAR PEMIKIRAN UPAYA PENGATURANNYA KE DALAM PERATURAN DAERAH.