Mengapa orang melakukan ujaran kebencian di medsos, jangan-jangan kamu berpotensi melakukannya karena ini.
Setiap orang pasti pernah merasakan perasaan benci biasanya akibat suatu konflik atau sebagai respon kekecewaan atau ketidakpuasan terhadap orang atau sesuatu hal. Awalnya mungkin cuman marah biasa, tetapi karena konfliknya berulang-ulang lama-kelamaan merasakan muak dan benci. Mungkin bagi beberapa orang perasaan benci hanya sebentar saja, tapi ada juga yang berlangsung lama. Nah, yang bahaya orang dengan sengaja tanpa pikir panjang melampiaskan rasa kebenciannya pada publik lewat media sosial (medsos) tanpa mempertimbangkan risikonya.
Perkembangan teknologi informasi memengaruhi cara dan pola orang berinteraksi satu sama lainnya. Interaksi dapat dilakukan bertatap muka meskipun jauh melalui jasa teknologi media sosial yang banyak digandrungi saat ini. Medsos merupakan media yang efektif menghubungkan kita dengan banyak orang tanpa melakukan pertemuan langsung. Pasti tidak dipungkiri sudah banyak orang atau kamu sendiri merasakan manfaat menggunakan medsos (misal Facebook, Youtube, Whatsapp, Twitter, IG, dll) hingga saat ini. Sayangnya, kemudahan dan keterbukaan medsos ini ternyata juga dimanfaatkan oleh oknum tertentu dalam melampiaskan kekecewaan, kemarahan dan ketidakpuasannya dalam bentuk ujaran kebencian kepada orang atau kelompok tertentu yang menyinggung perasaan yang amat dalam.
Sebagai MANUSIA yang berakhlak dan berbudi pastinya mengetahui bahwa ada etika berkomunikasi. Kita dituntut untuk selalu berbahasa santun kepada siapa pun. Kesantunan berbahasa merupakan ciri kecerdasan linguistik seseorang. Cuman kalau kita amati orang terdidik saja belum tentu loh punya kecerdasan linguistik yang diharapkan. Kita bisa lihat dan membaca banyak ujaran kebencian di medsos yang justru dilakukan oleh orang-orang yang terdidik dan berpendidikan cukup. Pertanyaannya mengapa mereka melakukan itu?
Virus ujaran kebencian ini tidak sendirinya terjadi. Ada faktor yang berpeluang memicu terjadinya seseorang melakukan ujaran kebencian dengan plong. Ada yang melakukannya sekedar iseng atau memiliki motif tertentu. Pernyataan-pernyataan yang dilontarkan tanpa dipertimbangkan baik dan buruknya karena seperti kata pepatah "lidah lebih tajam dari sebilah pedang" atau "mulutmu harimaumu". Dengan mulutnya orang bisa melukai hati dan "memangsa" lawan.
Media sosial oleh oknum ujaran kebencian (hate speech) menjadi ladang untuk menebarkan virus kebenciannya kepada orang lain, karena untuk melakukannya cukup dilakukan sendiri dengan hp, koneksi internet, dan bumbu konten kebenciannya. Medsos ini sangat-sangat mudah dan murah ketimbang dia berpidato di depan umum. Di medsos sifatnya animous, tanpa menunjukan wajah asli atau mengambil foto orang lain untuk menutupi kesalahan diri sendiri. Tidak ada kontrol sosial dan bebas tekanan, meskipun mungkin oknum tersebut sebelum melakukan aksinya bergelut dengan ketakukan atau perasaan terancam. Aksinya ini akan terus berlangsung lancar lantaran pemicu utamanya adalah faktor kejiwaan individu. Faktor lainnya seperti keterlibatan orang lain dalam memprovokasi, misinterpretasi informasi/misinformasi, ekonomi, dan lingkungan.
Faktor Kejiwaan dalam diri individu.
Jurnal yang ditulis oleh seorang mahasiswi Meri Febriyani Jurusan Hukum Universitas Lampung menuliskan "Faktor yang menjadi penyebab pelaku melakukan kejahatan adalah faktor internal yang utama yaitu faktor kejiwaan dikarenakan sakit hati sehingga daya emosional yang tinggi dalam diri pelaku dan rendahnya mental pelaku yang menyebabkan pelaku melakukan kejahatan ujaran kebencian khususnya penghinaan yang dilakukan dalam media sosial".
Situs tirto.id menulis "Seorang psikiater dari Harvard Dr. Alvin F. Poussaint menyebutkan ujaran dan kriminalitas kebencian berelasi dengan isu mental". Seperti contoh kekejaman Hitler diketahui mengidap paranoia. Ada juga aktor lainnya pengidap delusional atau gila yang berpotensi melakukan kejahatan ujaran kebencian sampai berujung pembunuhan.
Provokasi orang lain.
Apalagi yang memprovokasinya sosok yang kredibel, dipanut, dan berkuasa, serta diyakini ucapannya dianggap kebenaran maka dengan mudah ia terpengaruh melakukan ujaran-ujaran kebencian yang sama kepada objek ujaran kebencian. Bahkan apapun yang dikatakan oleh provokator dianggap benar dan patut didukung dikuatkan lagi dengan bumbu mengatasnamakan agama. Namun lagi-lagi ini dikembalikan kepada kemampuan individu masing-masing dalam kedewasaan berpikir dan pengendalian dirinya.
Misinterpretasi informasi atau misinformasi.
Era keterbukaan informasi dengan mudah dapat memengaruhi cara pandang/pola pikir seseorang. Bagi banyak orang, akses informasi sangat penting dalam kemajuan kehidupan. Tinggal kita pandai-pandai dan bijak dalam mengakses informasi yang bermanfaat dalam memperkaya pengetahuan akan banyak hal. Bedanya bagi para oknum yang melakukan ujaran kebencian mereka sangat doyan dengan informasi/berita yang berbau SARA, kekerasan, kebohongan dan kekejaman yang diposting di medsos oleh media-media yang tidak kredibel dan tidak bertanggung jawab. Hal inilah yang memicu suburnya perilaku hate speech dikalangan masyarakat.
Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi juga berkorelasi namun tidak secara langsung orang dengan keadaan ekonomi yang rendah, tidak berpenghasilan yang cukup, terdesak dengan kebutuhan-kebutuhan yang tinggi menjadi pendorong seseorang melakukan ujaran kebencian. Mungkin saja seseorang diminta orang lain untuk melakukan ujaran kebencian dengan mendapat imbalan.
Faktor Lingkungan
Lingkungan yang memberi kesempatan untuk melakukan kejahatan, lingkungan yang memberikan contoh dan teladan untuk melakukan kejahatan serta kurang kontrol sosial dapat membuat orang melakukan ujaran kebencian. Mungkin sebelum melancarkan aksinya seseorang sudah menunjukan gejala-gejala yang kurang pantas dalam berpikir dan merespon informasi/berita yang hangat. Kurangnya perhatian masyarakat sekitar dan/atau keluarga membuat pelaku dengan bebas mengekspresikan ujaran kebenciannya.
Menarik memperhatikan hasil penelitian mahasiswa FKIP Universitas Bengkulu mengenai kajian hate speech di media sosial khususnya Facebook menemukan persentase ujaran kebencian dari yang paling banyak seperti penistaan agama 25%, menebarkan hoax 20%, pencemaran nama baik dan provokasi 15 %, dan menghasut 5%.
Terakhir, ujaran kebencian merupakan kejahatan yang melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik RI diancam hukuman penjara dan denda yang tidak sedikit. Jadi lebih baik berpikir dan bertindak positif agar menjadi manusia yang lebih baik daripada menebar kebencian kepada orang lain yang nantinya pasti merugikan diri sendiri juga.